Monday, September 21, 2009

Dunia Kami .1.

“Karna aku nggak mau kamu bohongin aku, aku nggak akan bohongin kamu.”
“Bohong.”
“Nggak, Dek. Aku nggak bohong.”
---
Praya meraih tasnya lalu beranjak keluar kelas yang mulai sepi. Ia mengeluarkan kotak kecil seukuran dompet kemudian membuka dan mengeluarkan sebatang isinya. Ia merogoh sakunya untuk menemukan pemantik, lalu menyalakan rokok yang telah bertengger di sela bibirnya. Praya tahu dilarang merokok di sepanjang kawasan kampus, tapi ia tak perduli. Toh tak ada seorang pun yang akan berani menegur apalagi melarangnya menghisap barang haram tersebut.
Praya menuju ke tempat parkir, tempat ia memarkirkan mobil hitam yang baru menemaninya setahun belakangan. Ia merogoh ke dalam tas dan mengeluarkan kunci mobil itu, lalu dengan agak tergesa menyalakan mesinnya dan melaju membelah jalanan kota Semarang.
---
Mona masih meringkuk nyaman dalam selimut tipisnya. Udara panas dan lembab dalam kamarnya yang sempit tampaknya tak mengganggu kenikmatan mimpinya. Beberapa puntung rokok bertebaran di sekitar tempat tidurnya bersama satu atau dua buah kontrasepsi sisa semalam. Tak lama ponsel Mona bergetar singkat. Sebuah sms.
Mona terjaga sejenak. Ia memicingkan matanya melihat cahaya matahari yang menembus jendela kamarnya telah terik. Ia meraba sekitaran bantalnya dan menemukan ponsel mungil yang telah membuatnya terjaga itu.
Lgi dmna?
Nama Reksa muncul sebagai nama pengirim sms tersebut. Mona mengetik singkat lalu menekan tombol kirim.
Dkmr.
Belum dua menit ponsel tersebut bergetar lagi.
Aku ksna skrg.
Mona hanya mengerang malas kemudian tertidur selama beberapa menit lagi.
Waktu menunjukkan pukul dua lewat ketika pintu kamar Mona diketuk sopan. Mona bangkit lalu mengenakan kaos seadanya untuk menutupi bagian dadanya yang tak mengenakan bra. Ia meraih gagang pintu lalu membuka kuncinya untuk mempersilakan Reksa masuk. Sementara ia sendiri langsung berbalik ke arah kamar mandi untuk mencuci muka.
Reksa duduk di tepi tempat tidur Mona yang berantakan. Ia melihat ke sekeliling kamar, memungut beberapa puntung rokok dan melemparkannya ke dalam tempat sampah. Kemudian ia melihat ke arah alat kontrasepsi bekas pakai tapi terlalu jijik untuk menyingkirkannya.
“Mon, nggak bisa ya kamu rapiin kamar dulu kalau aku datang?”
“Kenapa emangnya? Kamu toh tahu apa pekerjaanku.” kata Mona dari arah kamar mandi.
“Tapi aku ini pacar kamu. Walaupun aku bisa terima keadaan kamu, tetep aja Mon...”
“Udahlah, nggak usah dibahas.”
Mona keluar dari kamar mandi lalu duduk di samping Reksa. Ia mengamati wajah Reksa sejenak, lalu meraih wajah tampan itu dan memberikan ciuman singkat sebagai permintaan maaf. Reksa tak membalas ciuman itu. Ia hanya diam saja dan memandang wajah Mona yang lelah dan tampak sayu. Reksa memutuskan untuk tidak meneruskan pertengkaran itu, ia toh sudah berjanji menerima Mona apa adanya, termasuk profesinya. Setelah melihat amarah Reksa telah hilang, Mona kemudian meraih sebuah celana jeans dan kaos berwarna hitam lalu melangkah ke dalam kamar mandi untuk berganti baju.
Reksa membelokkan mobilnya ke arah Jalan Pandanaran. Mona duduk diam saja di kursi samping pengemudi. Sebentar-sebentar, Reksa melirik ke arah wanita yang disayanginya itu. Mona baru sekitar 19 tahun, dan justru di usia itulah lekuk tubuhnya begitu ramping, begitu sempurna. Reksa sendiri sudah mempunyai calon istri. Di usianya yang hampir 25 tahun, ibunya telah menyuruhnya memilih jodoh dan pilihan sudah ditetapkan. Hanya saja, calon istri Reksa saat ini sedang berkuliah di Australia, menamatkan S1 dulu baru kembali ke Indonesia dan menikah dengan Reksa. Sampai saat itu datang, Reksa tak keberatan memberikan kasih sayangnya kepada Mona.
“Apa sih, lihat-lihat?” sergah Mona yang menyadari bahwa sedari tadi Reksa mengamatinya.
“Nggak, kamu cantik.”
“Gombal.”
Reksa hanya tersenyum. Ia membelokkan mobilnya memasuki gedung parkir Mall Ciputra, lalu mengemudikan mobilnya untuk mencari tempat parkir yang pas dan dekat dengan pintu masuk mall.

No comments: