Thursday, September 24, 2009

Dunia Kami .2.

---
Praya membunyikan klakson di depan rumahnya lalu menunggu satpam membukakan pintu gerbang untuknya. Setelah pintu gerbang terbuka, Praya menginjak pedal gas perlahan dan mengarahkan mobil hitam itu ke dalam garasi di samping rumahnya. Ia lalu turun dari mobilnya dan bertanya kepada satpam yang membukakannya pintu tadi, “Ada siapa di rumah, Pak?”
“Nggak ada siapa-siapa, Non. Tadi Bapak sempet pulang, tapi buru-buru pergi lagi ke kantor cabang yang di dekat pelabuhan. Kalau Ibu mungkin sebentar lagi pulang, barusan Pak Parno disuruh jemput.”
“Oh, yaudah.”
Praya berbicara sambil lalu saja. Ia toh sudah tahu tak ada siapa-siapa di rumah. Seperti biasanya.
Ia melepas sepatunya lalu melangkah masuk lewat pintu samping.
“Udah pulang, Non?” kata Anik, pembantunya yang hampir seumur dengannya.
Praya hanya tersenyum lalu meneruskan langkahnya ke kamar tidurnya di lantai atas. Sesampai di kamarnya, ia merebahkan diri di atas tempat tidurnya yang empuk. Entah kenapa, kepalanya pening sekali. Ia memejamkan matanya dan jatuh tertidur.
---
“Dia itu pelacur, Kak!”
“Buka mata kamu! Kamu ini pelajar, jangan mikir sempit. Dia bukan sembarang pelacur.”
“Semua pelacur sama aja, emang ada pelacur yang bener?!”
“Dia nggak pernah milih jadi pelacur.”
“Jangan buta, Kak! Dia cuma mau uang kakak.”
PLAAAKK!
---
Malam sudah turun sewaktu Praya terjaga dari tidurnya. Sekarang, rasanya agak baikan. Kurasa aku butuh udara segar, pikirnya. Praya mengambil jaket yang tergantung di lemarinya kemudian mengenakannya di atas kaos hitam yang tadi dipakainya waktu kuliah. Ia meraih kunci mobil di atas meja, lalu turun ke lantai bawah. Rumah sepi. Tapi rumah Praya memang selalu sepi. Tidak siang, tidak malam, memang begitu kelihatannya.
Ketika melangkah keluar pintu, didengarnya ibu membuka pintu kamar.
“Mau kemana, Ya?”
“Cari angin.”
“Sudah hampir tengah malam, Ya. Nggak baik anak perempuan keluar jam segini.”
“Di dalam rumah nggak ada angin, Bu.”
Ibu hanya bisa menggelengkan kepala menanggapi kekerasan hati Praya.
“Ya sudah, hati-hati. Jangan pulang terlalu pagi, jangan ngebut, Ya.”
Praya menutup pintu perlahan, tak ingin membangunkan ayahnya. Ia lalu melangkah ke garasi dan mengeluarkan mobil hitam mungil itu, membawanya menembus hawa dingin di jalanan sepi kota Semarang. Dari rumahnya, di kawasan Sultan Agung, ia membelokkan mobilnya ke arah Tugu Muda.
Di dalam mobil, Praya menyalakan tape dan memutar lagu kesukaannya sambil melaju pelan saja menikmati angin yang menembus jendela mobil di sisi kanannya. Di pertigaan depan Rumah Sakit Dr. Kariadi, dilihatnya satu kios masih menyala memamerkan barang dagangannya. Praya menepikan mobilnya dan turun untuk membeli sebungkus rokok.
“Udah lama nggak keliatan, makin cantik aja.”
Sebuah suara membuat Praya sedikit terkejut. Ia menoleh mencari si empunya suara.
“Oh, ngapain di sini, Mas? Tumben nggak di bunderan?”
“Tadi aku dari atas, dari tempat Dito. Pas nglewatin mobil item, aku nggak sengaja aja nengok. Eh, taunya kamu yang bawa. Kamu sendiri tengah malem gini ngapain?”
“Oh. Iya nih, lagi suntuk di rumah. Baru aku mau ke bunderan.”
“Ya udah, ayo deh. Ntar parkir di depan Lawang Sewu aja. Anak-anak juga pada di situ kok.”
Praya menyalakan sebatang rokok, lalu menghisapnya. Ia kemudian beranjak ke belakang kemudi mobilnya lalu mengekor motor Arif dari belakang.

No comments: