Sunday, November 1, 2009

Dunia Kami .4.

Praya menghidupkan mesin mobilnya, lalu mengarahkan kemudi ke mana dia suka. Dia memang tak berniat ke mana-mana, hanya tak ingin diceramahi dan tak ingin berada di rumah. Maka berbeloklah mobil itu ke kiri, menyusuri sepanjang Jalan Pandanaran sampai ke Simpang Lima. Cukup lengang keadaan di pusat Kota Semarang itu. Praya mengitari bundaran besar Simpang Lima sampai tiga kali sebelum memutuskan untuk menghentikan mobilnya di salah satu warung tenda yang menyajikan teh dan jagung bakar.
---
Mona menuruni tangga dari bioskop di Mall Ciputra bersama Reksa. Usai nonton film, Reksa pasti mengajak Mona makan atau bermain di Game Fun. Mona tak menolak. Rutinitas ini dijalaninya dengan biasa saja. Tidak bosan, tidak juga tertarik. Bukan tidak suka, hanya biasa saja. Bagi Mona, kencan seperti ini tak lebih dari rutinitas belaka. Toh ia tak mendapat kerugian apa pun. Cukup memenuhi panggilan Reksa, menemaninya nonton, bermain di Game Fun, atau sekedar jalan-jalan saja ke taman Tugu Muda atau menikmati pemandangan di kawasan Symphony. Sebagai imbalannya, Mona mendapat makan gratis dan terkadang baju atau alat make-up gratis.
Mona tahu, Reksa tak menaruh hati padanya. Kehadirannya hanya untuk menemani kesepian Reksa sampai tunangannya yang di Australia itu kembali ke Indonesia. Dia sendiri juga tak pernah menaruh hati pada Reksa. Hatinya sudah terikat pada sosok lelaki lain yang tak akan pernah ditemuinya lagi. Karena itulah Mona tak keberatan menerima segala pemberian Reksa, karena ia tahu dirinya hanya sebagai pelampiasan saja. Lagipula Reksa tak pernah menyentuh Mona lebih daripada yang diizinkan oleh norma yang berlaku, jadi tak akan ada beban pada keduanya di kemudian hari.
“Mau makan apa, Mon?”
“Terserah kamu aja deh.”
“Mm, aku lagi pengen makan ayam goreng nih. Kita makan di luar mall nggak apa-apa kan?”
“Ya nggak apa-apa lah, Rek. Aku juga bukan tuan putri yang harus makan di mall.”
Reksa menggandeng tangan Mona menuju ke mobilnya. Lalu mereka berdua masuk dan meninggalkan gedung parkir menuju ke warung ayam goreng di sekitar kampus Universitas Diponegoro.
---
“Mon, makasih udah jadi wanita tercantik dalam hidupku.”
“Jangan sebut aku begitu, aku ini perempuan kotor yang nggak layak buat kamu.”
“Aku nggak ngerti yang kamu omongin. Di mataku, kamu perempuan tersuci karena cinta kamu ke aku datangnya dari hati. Bukan dari materi.”
---
Waktu menunjukkan pukul sembilan lewat ketika Mona tiba kembali di kamarnya yang sempit dan pengap itu. Ia membereskan kamarnya sebentar. Merapikan seprei yang mencuat di sana sini, menyapu lantai, dan melemparkan dua buah alat kontrasepsi bekas pakai ke dalam keranjang sampah di sudut kamar. Kemudian, ia melepas kaos dan celana jeans yang tadi dikenakannya lalu menggantinya dengan rok mini berwarna hitam dan sebuah cardigan tipis berwarna putih di atas bra merahnya yang mencolok.
Ia mematut pakaiannya di depan cermin sejenak, lalu duduk di depan meja rias. Mona mengeluarkan alat pencatok rambut dari laci lalu mencatok rambutnya sampai lurus dan jatuh tergerai sempurna. Ia lalu memulas pipinya dengan blush on warna pink, dan memoles bibirnya dengan lipstick merah menyala. Terakhir ia menggunakan maskara dan eye liner untuk menyempurnakan kecantikannya. Mona lalu mengunci kamarnya dan keluar dari kawasan rumah susun itu ke jalanan, ke dalam dekapan angin malam yang dingin.
---
“Sampai kapan hubungan kita ini berlanjut?”
“Ya sampai ke pernikahan lah, sampai kita jadi kakek dan nenek.”
“Kita sama-sama tahu, nggak ada satu pun keluargamu yang setuju. Ya iyalah, mana mungkin mereka mau anaknya merit sama pelacur kayak aku.”
“Mon, jangan ngerendahin diri kamu kayak gitu. Aku nggak pernah nganggap kamu pelacur.”
“Tapi aku MEMANG pelacur.”

No comments: