Setelah memarkirkan mobilnya, Praya dan Arif lalu menyeberang jalan menuju ke tengah taman Tugu Muda. Di sana banyak teman-teman Arif dan teman-teman Praya yang sedang nongkrong. Duduk-duduk, merokok, belajar BMX, belajar bartending, atau sekedar memamerkan pertunjukan mesra bersama pacar-pacar mereka. Praya menyapa mereka sekadarnya, tersenyum pada beberapa kawan lama dan mendengus pada pasangan-pasangan yang kurang tahu adat. Arif tersenyum melihat tingkah Praya.
“Udah lama nggak kesini, Ya. Apa kabar?”
“Yah, gitu-gitu aja Mas. Nggak banyak berubah kok.”
“Aku minta maaf nggak bisa dateng ke pemakaman Jova.”
“Udahlah Mas, nggak usah dibahas.”
“Oke deh, kalau emang itu mau kamu. Kita bahas kamu aja kalau gitu.”
“Apanya yang mau dibahas?”
“Ya kuliahmu, temen-temenmu, what have i missed?”
“Temen-temenku ya cuma temen-temen Jova. Mas Arif, Mas Dito, sama anak-anak. Yang lain cuma temen di depan, di belakang tukang morotin.”
“Loh, kok gitu bahasanya? Masa baru kuliah nggak punya temen?”
“Semua cuma ngincer duitku aja, Mas. Kalau ngajak jalan, minta dibayarin lah, sok alesan dompet ketinggalan lah. Emangnya aku ini bank mereka?”
Arif hanya tersenyum mendengar keluhan adik kembar teman baiknya itu. Memang sejak Jova meninggal, Praya sedikit banyak berubah. Jadi lebih tertutup, dan lebih negatif menilai dunia di sekelilingnya. Arif tahu sehebat apa Jova bagi Praya. Dan kehilangan Jova berarti kehilangan setengah dunia Praya dan seluruh impiannya.
“Mas, kok nggak ada balap lagi?”
“Kenapa? Masih mau masuk rumah sakit? Dirawat sampe sebulan lebih di ICU, nggak sadar-sadar sampe ibumu nggak bisa tidur?”
Praya diam saja. Beberapa waktu lalu, selepas kepergian Jova, Praya benar-benar hilang arah. Hampir setiap malam dia menghabiskan waktu di jalanan bersama teman-teman Jova. Pulang tidak kurang dari jam setengah enam pagi dengan bau knalpot dan asap rokok. Mengunci diri dalam kamar, mogok makan, mogok bicara, menyayat nadi dengan silet, pingsan di rumah sakit sampai berhari-hari.
Baru keluar seminggu dari rumah sakit, baru mulai sehat, melaga lagi di jalanan. Kebut-kebutan dengan motor, ikut balap liar, dikejar polisi, menabrak truk yang sedang berhenti, masuk rumah sakit lagi. Kali ini di ICU, dan sebulan lewat hilang kesadaran. Ibu panik, tiap hari menunggui di rumah sakit. Ayah sudah tidak ambil pusing, setelah kehilangan Jova, kelihatannya beliau tidak keberatan kehilangan satu anak lagi yang dianggap tak pernah menurut apa katanya.
“Jangan rusak hidupmu, Ya. Kamu itu masih muda, baru aja masuk kuliah.”
“Mas kan tahu, aku sudah nggak punya mimpi apa-apa. Beruntung kalau Jova jemput aku.”
“Jangan ngomong sembarangan, Ya. Jova nggak bakal jemput kamu. Dia mau liat kamu sukses, dia mau liat kamu bisa dibanggain sama ayah dan ibu.”
“Nggak usah repot, Mas. Lebih mungkin Jova balik lagi dari bawah nisannya daripada tunggu ayah bangga sama aku.”
“Buktiin lah, Ya. Kamu punya bakat. Kamu jago ini itu, kenapa nggak dikembangin sih?”
Praya tak mengacuhkan nasehat Arif. Sudah seratus kali mungkin Arif dan teman-teman yang lain berkata seperti itu. Kembangkan bakat lah, jangan mati dulu lah, masih banyak mimpi lah. Praya sudah bosan mendengar ceramah-ceramah macam itu. Ia bangkit lalu berjalan ke arah mobilnya.
“Eh, mau kemana?”
“Cari angin. Di sini gerah.”
Arif tak menghentikan langkahnya. Ia hanya memandangi punggung Praya yang tegap melangkah dengan mantap ke arah mobil hitam di seberang jalan. Bahkan cara berjalan mereka pun sama, pikir Arif dalam hati.
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment